Menguji Konsistensi Jokowi soal 3 Periode
Presiden Joko Widodo (Foto: Twitter @jokowi)

Bagikan:

JAKARTA - Presiden Joko Widodo telah menyatakan 'tidak berniat' untuk memperpanjang masa jabatannya sebagai Presiden RI. Artinya, Jokowi tidak ingin maju mencalonkan diri lagi sebagai presiden di Pilpres 2024.

Bahkan, Jokowi tidak menyetujui apabila dilakukan amandemen UUU 1945 untuk memuluskan langkahnya sebagai presiden 3 periode.

Kendati demikian, sebagian pihak yakin Jokowi bakal merubah pernyataannya dari menolak hingga menerima. Apabila  banyak yang memintanya kembali sebagai presiden. 

Salah satunya, mantan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Arief Poyuono. Ia beranggapan, pandemi COVID-19 yang berdampak buruk bagi kesehatan dan ekonomi saat ini memerlukan penanganan khusus dari pemimpin yang berpengalaman seperti Jokowi.

Karena itu, ia yakin jika amandemen UUD NKRI 1945 telah direvisi dan banyak rakyat yang menginginkan, Jokowi pasti akan menyanggupi.

"Kalau konstitusinya nanti berubah, dan kalau didesak oleh rakyat dengan jumlah yang besar agar Pak Jokowi maju kembali, saya rasa pasti dia akan mau," kata Poyuono dalam diskusi virtual, Sabtu, 20 Maret. 

Maju Didorong Istana

Wacana 3 periode presiden ramai lagi setelah disinggung Amien Rais. Pendiri Partai Ummat itu menilai isu tersebut dihembuskan oleh kepentingan-kepentingan yang berada di lingkungan Jokowi.

Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), Ujang Komarudin pun menduga, Presiden Jokowi 'didorong' sejumlah pihak di Istana agar melanjutkan masa kepemimpinannya menjadi tiga periode.

“Mungkin ada orang-orang di sekililingnya yang dorong-dorong Jokowi tiga periode, maju lagi di Pilpres 2024. Kebanyakan dari lingkaran Istana,” kata Ujang baru-baru ini.

Ujang menilai, pihak di lingkaran Istana tersebut kembali mendorong Jokowi maju di Pilpres 2024 lantaran khawatir jika Jokowi lengser sebagai presiden maka pihak-pihak itu akan kehilangan kursi kekuasaan mereka. 

Sementara, Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun meragukan kemenangan Jokowi apabila ia bersedia maju kembali sebagai presiden 3 periode. 

Meski menurutnya, wacana ini akan bergerak di putaran kekuasaan Istana yang tentu saja berkepentingan. Dimana, ketika dihadapkan isu masa perpanjangan masa jabatan mereka berharap Presiden Jokowi akan terpilih kembali pada periode ketiga.

"Persoalan nya apakah seputaran istana akan kompak? Saya meragukan itu," ujar Refly dalam diskusi Polemik Trijaya bertajuk Misteri 2024 secara virtual, Sabtu, 20 Maret.

Menurut Refly, ketidakkompakan dalam istana untuk mendukung Jokowi di periode ketiga lantaran masing-masing parpol sudah memiliki capres sendiri. Terlebih, ada pihak yang menunggu bola untuk digolkan apabila Jokowi tak lagi mendaftarkan diri sebagai capres.

"Misal, kalau agenda itu didorong apakah Gerindra mau? Karena Prabowo pasti berpikir, wah ini saatnya (jadi presiden, red) karena tidak ada lagi pesaing yang menjegal dua kali," ungkap Refly.

Inkonsistensi Jokowi

Presiden Joko Widodo telah kembali menegaskan dirinya tidak memiliki niat menjadi presiden tiga periode. Penegasan ini disampaikan Jokowi menanggapi isu rencana amandemen UUD NRI 1945 untuk menambah masa jabatan presiden.

"Apa lagi yang harus saya sampaikan? Bolak-balik ya sikap saya tidak berubah. Saya tegaskan, saya tidak ada niat. Tidak berminat juga menjadi presiden tiga periode. Konstitusi mengamanatkan dua periode. Itu yang harus kita jaga bersama-sama," kata Jokowi  pada Senin, 15 Maret.

Namun penegasan yang berulang ternyata dulu juga pernah dilontarkan mantan wali kota Solo itu. Dahulu, terkait pernyataannya yang melarang menteri merangkap jabatan.

Jokowi menegaskan bahwa mereka yang akan mengisi posisi menteri dalam kabinet pemerintahannya bersama wakil presiden terpilih Jusuf Kalla tidak boleh merangkap jabatan dalam struktural di partai politik.

"Yang saya sampaikan dari awal ya begitu. Ya sudah," ujar Jokowi di sela blusukan ke proyek sodetan Ciliwung-Kanal Banjir Timur, Jakarta, Selasa 26 Agustus 2014.

Jokowi meyakinkan mereka bahwa rangkap jabatan dapat membuat kerja menteri tidak fokus.

"Satu jabatan saja belum tentu berhasil, apalagi dua," ujar Jokowi. 

Pernyataan Jokowi soal rangkap jabatan menteri bahkan dikatakannya hingga dua kali.

"Sudah disampaikan tidak. Kok masih diulang lagi," tegas Jokowi usai bertemu PM Papua Nugini di Istana Merdeka, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Selasa, 21 Oktober 2014.

Keputusan tersebut, kata Jokowi, sudah final dan merupakan hak preogratif presiden. "Tidak boleh merangkap-rangkap jabatan. Kerja di satu tempat saja belum tentu bener kok. Itu hak prerogatif presiden," pungkasnya.

Jika ditarik lebih mundur lagi, Jokowi rupanya pernah menolak menjadi Presiden RI di periode pertama. Kala itu ia masih menjadi gubernur DKI Jakarta.

Joko Widodo mengaku tidak pernah berpikir untuk maju sebagai calon presiden. Jokowi beralasan dia baru sebentar menjadi pemimpin Jakarta. Selain itu, dia juga tidak masuk dalam struktur DPP PDI Perjuangan.

"Makanya, setiap ditanya, saya jawab ndak mikir karena betul-betul ndak mikir. Karena logikanya tidak mungkin," kata Jokowi saat menghadiri Rapimnas Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII) di Balai Kartini, Jakarta, Selasa, 13 Mei 2014.

Pernyataan Jokowi Dinilai bisa Berubah

Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menilai Presiden Joko Widodo bisa saja terjerumus isu 3 periode. Sebab menurutnya, Jokowi juga politisi yang beberapa kali pernah tidak konsisten dengan ucapannya.

"Bagaimana kita bicara konsistensi seorang politisi? Kan Jokowi sudah contohkan inkonsistensinya, misal ketika pada periode pertama melarang rangkap jabatan," ujar Refly dalam diskusi Polemik Trijaya bertajuk Misteri 2024, Sabtu, 20 Maret.

"Saya ingat Wiranto harus memilih menjadi ketum Hanura atau menteri. Cak Imin juga suruh memilih dan mengatakan memilih PKB walaupun sebenarnya menjadi menteri pun dalam proses pertimbangan juga," tambahnya.

Akan tetapi, sambung Refly, pada periode kedua banyak menteri Jokowi yang merangkap jabatan. Namun, Jokowi tidak mempermasalahkan.

"Kita tahu, bahwa Airlangga jadi Ketum partai, Prabowo kemudian Suharso bahkan Moeldoko bisa mengambil alih kepemimpinan partai ketika masih sebagai KSP. Nah ini menunjukkan bahwa inkonsistensi politisi itu bisa diliat dari sisi positif dan negatif," jelas Refly.

Refly menjelaskan, dilihat dari sisi positifnya bahwa memang yang namanya gelombang perubahan itu perlu disikapi dengan cara berbeda.

"Yang tadinya A kita ngomong B, tapi dengan cara negatif wah ini memang enggak bisa dipegang. Statement yang seperti itu adalah statement yang bisa dikeluarkan setiap saat, tetapi tidak ada konsekuensi hukumnya. 

Meski komitmen itu tidak ditaati, kata dia, namun ternyata kemudian dapat terpilih juga walaupun melakukan langkah-langkah inkonsistens. 

"Karena political punishment itu tidak langsung juga. Jadi ketika seseorang berbeda dengan apa yang dikatakan sebelumnya belum tentu dia tidak terpilih sama sepeti parpol tidak konsisten pun belum tentu tidak teprilih kembali karena logika elektoralnya berbeda," ujar Refly.

Terkait